Artikel

now browsing by category

 

Pengabdian Keris Metakultura UNEJ Selenggarakan “Workshop Branding Wisata Megalitikum Desa Kamal”

Membangun sebuah desa wisata sebagai salah satu alternatif produk pemberdayaan menurut Andi Yuwono, Ketua Asosiasi Desa Wisata (Asidewi), kita harus mempunyai beberapa trik agar desa tersebut dapat dikenal oleh pasar dan diminati oleh masyarakat banyak. Sebuah desa harus mampu memberikan edukasi wisata bukan hanya
sebagai tempat wisata saja. Kalau hanya sebagai tempat wisata, nilai jualnya sangat rendah. Tetapi apabila desa tersebut di-create sebagai tempat edukasi wisata, maka akan mampu meningkatkan nilai jual, karena yang dijual bekanlah fasilitas atau tempat, namun yang dijual adalah edukasi, pembelajaran, dan pengetahuan dari obyek desa wisata tersebut. Desa wisata dapat dikembangkan oleh setiap desa sesuai dengan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam desa tersebut (inaifas.ac.id).

Dalam mem-branding wisata desa diawali dengan membangun konsep dan menyusun strategi branding dengan mengedepankan keunikan dan karakteristik desa wisata. Desa Kamal memiliki situs-situs peninggalan zaman megalitikum dapat di-branding sebagai keunikan desa wisata yang dapat dijual kepada konsumen wisata dan masyarakat umum. Pemasaran di era digital sekarang perlu mengikuti pola Marketing 4.0 yang tidak hanya mengandalkan branding dan marketing di ranah digital saja tetapi terdapat konsep yang mempertemukan strategi pemasaran online dan offline (desawistainstitute.com). Artinya, apa yang dilihat oleh konsumen di dunia digital haruslah sama dengan apa yang dirasakannya langsung saat di lapangan.

Workshop Digital Branding Wisata Megalitikum

Masyarakat Desa Kamal yang menjadi pemilik situs dan sekaligus sebagai pengelola wisata terkait terutama yang tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) memerlukan sentuhan peningkatan kapasitas (capacity building) dalam mengelola branding wisata yang dimilikinya. Bertempat di Situs Duplang pada tanggal 11 Desember 2022 Tim Pengabdian Dosen Keris-Dimas Metakultura Universitas Jember “Akselerasi Pengembangan Wisata Budaya Berbasis Peninggalan Purbakala di Desa Kamal, Kecamatan Arjasa, Jember” Tahun 2022 mengadakan “Workshop Digital Branding Wisata Megalitukum Desa Kamal”. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya peningkatan kapasitas (capacity building) para anggota Pokdarwis Desa Kamal dalam mengelola website dan media sosial resmi yang mereka kelola.

Di dalam Workshop tersebut tim pengabdian menyampaikan materi dan diskusi serta praktek pengelolaan website dan media sosial ofisial wisata desa, serta teknik liputan dan teknik penulisan berita. Urutan materi sebagai berikut: 1. Membangun Wisata Desa Kamal Berbasis Peninggalan Megalitikum; 2. Liputan dan Penulisan Artikel Berita; 3. Fotografi Smartphone untuk Konten Media Sosial; dan 4. Cara Bikin Video Klip YouTube dan Monetasi.

Logo Wisata Desa Megalitikum Kamal

Pada sesi pertama disampaikan materi “Membangun Wisata Desa Kamal Berbasis Peninggalan Megalitikum”. Dalam memahami konsep desa wisata kita harus mengingat beberapa kata kunci, yang pertama desa wisata mengusung semangat dari masyarakat kembali ke masyarakat. Maksudnya adalah dalam mengelola wisata yang ada di desa harus memberdayakan masyarakat baik dari aspek ekonomi, sosial, budaya dan lainnya, serta juga memikirkan bahwa apa yang dihasilkan selama aktivitas pengelolaan desa wisata juga perlu mempertimbangkan dampak atau impact terhadap masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pengembangan desa wisata diharapkan juga nantinya mampu meningkatkan nilai aspek-aspek kehidupan di masyarakat, baik nilai ekonomi maupun nilai budaya dan yang lain-lain. Beberapa pendekatan yang dapat
digunakan adalah pendekatan jangka panjang (suistanable), meskipun boleh juga ada program-program yang bersifat jangka pendek. Pendekatan yang bersifat berkelanjutan atau jangka panjang perlu menyiapkan terlebih dahulu desain atau road map yang berisi apa saja yang akan dikerjakan selama sekian tahun. Tahun pertama targetnya apa, tahun kedua apa dan sebagainya. Setelah desain selesai maka desa wisata itu juga perlu mempersiapkan sumber daya manusia. Peningkatan kualitas sumber daya manusia bisa dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan baik secara formal maupun informal, misalnya melalui workshop.

Dalam mengelola desa wisata perlu pula merancang program yang khusus memetakan potensi-potensi sumber daya alam dan sosial ekonomi budaya masyarakat yang ada di sekitar desa wisata yang akan dikelola. Adapun fungsi
dari pemetaan ini agar pengelola memiliki fokus atau branding tertentu atau produk unggulan pada bidang-bidang tertentu dan pada aspek-aspek yang mana yang akan diprioritaskan. Apakah potensi bentang alamnya, potensi ekonomi, atau pun potensi sosial budayanya. Diperlukan juga adanya kontrol untuk mengukur kira-kira
mana yang lebih bisa atau berpeluang untuk dikembangkan lebih jauh nantinya.

Terkait dengan desa wisata berbasis peninggalan megalitikum di situs Duplang dan situs lainnya di Desa Kamal Kecamatan Arjasa yang sangat menonjol ada dua. Pertama, pada aspek bentang alamnya, ada sungai,
bukit, dan perkebunan/persawahan yang juga cukup menarik untuk dijadikan spot wisata dan bumi perkemahan. Hal ini didukung oleh suasana Desa Kamal yang sejuk, teduh dan tenang. Potensi yang kedua yang besar bahkan lebih besar yaitu sosial ekonomi budaya yang berbasis peninggalan megalitikum. Di Desa Kamal di setiap dusun penuh dengan peninggalan-peninggalan megalitikum. Selain itu, Desa Kamal juga dikenal dengan tradisi Tak Butha’an yang memiliki nilai historis terkait sejarah berdirinya desa tersebut. Ada juga kuliner atau
makanan minuman yang menjadi ciri khas Desa Kamal. Dari hal-hal tersebut perlu adanya kolaborasi antar-stakeholder baik yang berbasis kelompok sadar wisata, karang taruna, maupun pemerintah desa, perguruan tinggi, aktivis, seniman, dan pemerintah kabupaten dan provinsi perlu duduk bersama menyamakan persepsi, kira-kira langkah apa yang paling strategis untuk dilakukan secara bersama-sama ke depan.

Pada sesi kedua materi “Liputan dan Penulisan Artikel Berita” disampaikan kepada pengurus dan anggota Pokdarwis Desa Kamal terutama kalangan muda-muda untuk mengembangkan website yang sudah diinisiasi tim pengabdian guna menunjang digital branding wisata megalitikum di Desa Kamal. Cara mengembangkan website Desa Kamal, salah satunya adalah mengisi berita yang terkait di sekitar situs maupun kegiatan-kegiaan desa yang akan ditulis dan dijadikan berita dan diunggah di website.

Semua peristiwa yang ada di Desa Kamal diharapkan bisa ditulis menjadi erita. Pada program perdana pelatihan penulisan artikel berita ini peserta diberikan tugas langsung meliput kegiatan perkemahan di Situs Duplang. Kegiatan tersebut menjadi bahan praktik langsung para pengurus Pokdarwis Desa Kamal dan ditulis menjadi berita. Tujuan dari pelatihan dalam menulis berita adalah sebagai salah satu sarana untuk sosialisasi dan menginformasikan kepada pembaca dan publik bahwa di Desa Kamal terdapat kegiatan-kegiatan positif.

Dalam melakukan liputan berita perlu mengikuti pedoman atau semacam rumus dalam ilmu jurnalistik yaitu 5W+1H, yang terdiri atas: what (apa), when (kapan), where (di mana), who (siapa), why (mengapa), dan how (bagaimana/kronologi). Dalam sebuah berita terdapat lead (teras berita) & body (tubuh berita). Menulis berita menggunakan model piramida terbalik, yaitu dari yang paling penting ke yang kurang penting). Walaupun demikian, dalam menulis berita tidak hanya menekankan pada 5W+1H, tetapi perlu juga memuat pernyataan-pernyataan langsung dari narasumber atau tokoh masyarakat atau pun orang-orang yang terlibat dalam peristiwa yang diliput menjadi berita. Misalnya, saat liputan menghadapi atau menemui mahasiswa dari salah satu perguruan tinggi di Jember yang melaksanakan program camping Sabtu dan Minggu, maka dalam berita harus muncul satu paragraf pernyataan ketua panitia, satu paragraf pernyataan dari
masyarakat, satu paragraf pernyataan dari pengelola situs, dan satu paragraf lagi pernyataan dari pemerintah desa. Sehingga, beritanya akan lebih enak untuk dibaca dan informatif, serta memenuhi kaidah cover bothside.

Praktek liputan berita Camping di Tanah Leluhur

Pada sesi ketiga dan keempat disampaikan materi “Fotografi Smartphone untuk Konten Media Sosial” dan “Cara Bikin Video Klip YouTube dan Monetasi.” Tim mahasiswa yang terlibat dalam pengabdian ini menangani bagian grafik desainer (website, logo, color, palet, instagram, dan story instagram); konten-konten yang diisi: fotografi dan videografi, dan bagaimana angle-angle yang tepat serta pencahayaan. Pokdarwis diberikan tips tips dalam mengelola website dan media sosial yang sudah dibuat. Pokdarwis perlu diisi dengan anak-anak muda lokal, supaya bisa mengelola website dan media sosial, karena anak-anak muda zaman sekarang gampang paham terhadap dunia digital atau online.

Hasil dari Workshop, dalam praktik langsung liputan dan penulisan berita adalah artikel berita yang ditulis secara keroyokan oleh pimpinan dan para anggota Pokdarwis. Artikel berita itu kemudian dipublikasikan di tiga media online, yaitu: website ofisial Wisata Desa Megalitikum Kamal, jurnal.news, dan rri.co.id, dengan perincian sebagai berikut.
1. “Pemdes Kamal Buka Akses Camping di Tanah Leluhur”, dimuat 12 Desember 2022. Alamat URL: http://www.desamegalitikumkamal.com/
2. “Pemdes Desa Kamal Buka Akses Camping di Tanah Leluhur”, dimuat 13 Desember 2022. Alamat URL: https://www.jurnalnews.com/2022/12/13/pemdes-kamal-buka-akses-camping-tanah-leluhur/
3. “Pemdes Desa Kamal Luncurkan Program Camping di Tanah Leluhur” dimuat 13 Desember 2022. Alamat URL: https://rri.co.id/jember/daerah/111039/pemdes-desa-kamal-luncurkan-program-camping-di-tanah-leluhur#.Y5g3UYTJyyE.

Untuk mengenalkan narasi historis situs di Desa Kamal kepada masyarakat Jember, masyarakat Indonesia bahkan dunia, Tim Pengabdian bekerjasama dengan Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI Jember, menghadirkan narasumber: Ibu Dhebora Krisnawati (Skretaris Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jember), Bapak Dendhy Radiant (Camat Arjasa), Dr. Sukatman (Akademisi UNEJ), dan Mbak Ulfiatun Hasanah (Pengurus Pokdarwis Desa Kamal) yang tampil di acara “Dialog Jember Pagi Ini” di RRRI Jember dengan tema “Menafsir Situs Duplang Desa Kamal Arjasa”. Acara ini selain disiarkan di radio analog juga sekaligus live streaming di akun Youtube LPP RRI Jember (PRO 1 & PRO 2). Acara ini dirancang sebagai upaya melibatkan media massa dalam edukasi mengenalkan Situs Duplang yang merupakan peninggalan nenek moyang, agar semua bisa menjaga dan melestarikan keasliannya. Video live streaming tersebut dapat disimak di alamat URL: https://www.youtube.com/watch?v=YE02St0d16A, pada akun ofisial RRI di Youtube yang telah memiliki 1.97K subscriber. Respon masyarakat di akun Youtube tersebut cukup baik, salah satu di antaranya mengatakan bahwa semoga ekspektasi sesuai dengan realita, kami sangat mendukung program yang ada di situs Duplang, RRI terus berjaya di angkasa dan selalu memberikan informasi, edukasi yang berkualitas.

Dialog Jember Pagi Ini di RRI Jember “Menafsir Situs Duplang Desa Kamal Arjasa”

Pengabdian Dosen Dampingi UMKM Pendukung Wisata Alam Potre Koning di Desa Sumbercanting, Bondowoso

Pintu Gerbang Wisata Alam Potre Koning & Goa Mustajab

Mitra kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah masyarakat Desa Sumbercanting. Program Pengabdian Desa Binaan ini bertema “Peningkatan Skill Enterpreneurship Berbahan Baku Lokal dalam Mendukung Wisata Alam Potre Koning di Desa Sumbercanting, Kecamatan Wringin, Bondowoso”. Potre Koning adalah sebuah destinasi wisata yang dikembangkan masyarakat desa bersama mahasiswa KKN dan pengabdian dosen UNEJ. Pendampingan pada program pengabdian kali ini dilakukan terhadap masyarakat desa yang memiliki potensi usaha kreatif yang dapat mendukung Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Laskar Arak-arak sebagai operator Wisata Alam Potre Koning dalam mengembangkan layanan wisata mereka terutama terkait informasi, suvenir dan oleh-oleh.

Goa Mustajab, salah satu pemandangan yang menakjubkan di destinasi Potre Koning

Melihat belum adanya cenderamata dan kuliner yang ikonik di wisata alam tersebut, tiga orang dosen UNEJ dari Prodi Sastra Indonesia FIB dan satu rekan dari Fisipol menggagas solusi yang ditawarkan melalui pelatihan atau workshop pembuatan cenderamata ikonik dan pemanfaatan kuliner lokal untuk dapat disajikan di lokasi wisata. Target yang ingin dicapai adalah kelompok masyarakat usaha mikro di desa dapat memproduksi produk gantungan kunci, kerajinan tangan, dan seni kriya yang dapat dijajakan di lokasi wisata, sehingga hal ini mendukung program wisata alam yang berbasis masyarakat (community based ecotourism).

Pemandangan teras siring, jurang, dan pantai di kejauhan

Pandemi telah menghentikan operasional Wisata Alam Potre Koning. Adanya kebijakan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan dilanjutkan PPKM (Pembatasan Pelaksanaan Kegiatan Masyarakat) membuat Wisata Alam Potre Koning menutup usahanya dari kunjungan wisatawan. Otomatis keaadaan ini membuat Pokdarwis Laskar Arak-arak tidak memiliki penghasilan sehingga tidak dapat memberi insentif pada anggotanya yang selama ini aktif mengelola wisata tersebut. Objek wisata menjadi terbengkalai, tanpa ada yang merawat. Sementara letaknya yang ada di pinggir jalan raya dan jauh dari perkampungan pengelola membuat orang-orang yang tidak bertanggung jawab merusak dan melakukan perbuatan vandalis terhadap fasilitas di objek wisata, seperti genteng-genteng yang bolong, besi sangkar burung selfi yang dibengkokkan, papan-papan yang dirusakkan, dan lain-lain. Untung saja beberapa sarana selfi yang dibangun, diamankan terlebih dahulu oleh pihak Pokdarwis.

Kerajinan kayu potensi lokal sebagai potrnsi suvenir wisata

Melihat kerusakan yang terjadi di objek wisata dan belum bisanya objek wisata alam Potre Koning dibuka kembali untuk pengunjung atau wisatawan, para pengabdi berinisiatif untuk mengikutsertakan pelaku usaha lokal dalam pelatihan Membangun Bisnis di Era Digital Kreatiful untuk UMKM yang diselenggarakan Kreatiful Mentoring Series. Pelatihan-pelatihan terhadap sumberdaya manusia warga Desa Sumbercanting tersebut berisi tentang metode dan cara pembuatan cenderamata atau suvenir, kuliner, pengemasan dan labelisasi yang menarik serta digital marketing.

Program pelatihan tersebut merupakan bentuk pengabdian untuk membantu pelaku UMKM sehingga memiliki pondasi yang kuat untuk mengembangkan usaha. Pelatihan berlangsung dalam empat pertemuan. Pertemuan pertama hari Minggu 24 Oktober 2021 dengan tema “Membangun Mindset Entrepreneur dan Fundamental of Branding. Minggu kedua tanggal 31 Oktober 2021 mengusung tema “Strategi penetapan HPP dan harga jual”. Minggu ketiga 7 November 2021 bertema “Strategi Pengelolaan UMKM yang efektif”. Minggu terakhir tanggal 14 November 2021 mengusung tema “Pentingnya Brand Positioning untuk Bisnis.”

Spot Selfi dengan pemandangan alami

Hasil akhir yang dituju dari pendampingan adalah peningkatan penghasilan keluarga pelaku usaha mikro. Selain itu, produk-produk yang mereka hasilkan dapat mendukung peningkatan daya tarik kunjungan di Wisata Alam Potre Koning.
Sebagai upaya branding wisata sebelum dibuka kembali, para pengabdi membangun pula website untuk memberikan informasi layanan wisata dan produk-produk UMKM desa terkait suvenir dan oleh-oleh dapat dibeli wisatawan ataupun pengunjung maupun masyarakat umum. Masyarakat umum dapat mengunjungi laman web: www.wisatapotrekoning.com

Laman website tersebut berisi informasi tentang layanan wisata, kontak pembelian suvenir dan oleh-oleh, serta video wisata untuk menarik khalayak luas akan keberadaan wisata alam Potre Koning sehingga tertarik mengunjungi dan mampir. Para wisatawam maupun treveller dapat menjadikan wisata alam Potre Koning sebagai rest area dalam perjalanan mereka melintasi jalan raya di depan wisata alam ini untuk melepas penak, rehat, menikmati pemandangan perbukitan nan cantik, beribadah, ke kamar kecil, makan minum, membeli souvenir dan oleh-oleh, sampai energizing lagi untuk melanjutkan perjalanan.

Produk radio kayu artistik dan retro

KANALISASI PRAKARSA DAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MEMAJUKAN PEMBANGUNAN KABUPATEN BANYUWANGI

Oleh: Kusnadi[1]

kusnadiPada hari Rabu, 15 Desember 2010 lalu, Kementerian Dalam Negeri telah memberikan penghargaan Innovative Government Award (IGA) kepada empat kabupaten/kota di Indonesia, yang telah banyak melakukan inovasi dalam rangka memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan  rakyat. Empat kabupaten tersebut adalah Kabupaten Solok untuk kategori tata kelola pemerintah daerah, Kota Surabaya dalam hal pelayanan publik, Kabupaten Gianyar untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat, dan  Kabupaten Boalemo dalam hal peningkatan daya saing daerah (Kompas, 16 Desember 2010: 2). Setiap  kabupaten/kota memiliki bidang kerja prestasi yang berbeda, yang kesemuanya itu ber tujuan sama,  yakni memajukan pembangunan di daerahnya. Pilihan kabupaten/kota untuk  memajukan bidang-bidang kerja tertentu  disesuaikan dengan kondisi sumber daya yang dimiliki dan siap didayagunakan. Suatu prestasi dalam bidang kerja tertentu akan menjadi modal untuk meraih keberhasilan di bidang-bidang pembangunan lainnya pada masa-masa mendatang.

Keberhasilan pembangunan daerah ditentukan oleh beberapa faktor, seperti kualitas aparatur pemerintah daerah dan penguatan fungsi birokrasi, kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah, perencanaan pembangunan daerah yang sesuai kebutuhan riil dan visioner, partisipasi dan prakarsa masyarakat yang konstruktif, stabilitas sosial politik yang kondusif, dan dukungan sumber daya lainnya  yang memadai. Subjek terpenting dalam pembangunan daerah adalah relasi timbal-balik yang dinamis antara masyarakat dan pemerintah daerah. Di antara kedua subjek tersebut terdapat lembaga-lembaga infrastruktur politik, lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan, dan pelaku-pelaku pembangunan ekonomi, yang kesemuanya itu dapat membantu menjembatani relasi antarpihak,   menerjemahkan keinginan bersama menjadi program-program pembangunan daerah, serta mengimplementasikan dan mengawasi pelaksanaan program-program tersebut untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Hubungan kerja sama yang sinergis, dinamis,  dan konstruktif antarberbagai pihak (stakeholders) merupakan kunci keberhasilan pembangunan daerah. Peluang-peluang untuk membangun kemajuan daerah sangat dimungkinkan di era otonomi daerah ini.

Paradigma Otonomi Daerah

            Otonomi Daerah yang secara efektif mulai dilaksanakan pada tahun 2001 merupakan upaya untuk memangkas mata rantai proses pembangunan yang panjang dan sentralistik, sebagaimana diterapkan oleh pemerintahan sebelumnya. Otonomi Daerah untuk mendekatkan hubungan fungsional antara pemerintah daerah dengan masyarakat.[2] Sejak tahun 1980-an telah berkembang pemikiran, wacana, dan konsep-konsep pembangunan yang mulai menggeser peran dominasi  pemerintah ke masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu, berkembangnya beragam tuntutan masyarakat, yang dipengaruhi oleh kondisi global, perkembangan dalam negeri, dan peningkatan kualitas manusia, upaya-upaya untuk melakukan pembaruan dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara, memperoleh momentumnya yang tepat ketika kita menghadapi krisis ekonomi pada tahun 1997 yang dilanjutkan dengan pergantian rezim kekuasaan pada Mei 1998. Otonomi Daerah yang “dipercepat” merupakan kelanjutan dari proses perubahan tersebut. Awal abad 21, kita memasuki era pembangunan nasional berbasis otonomi daerah yang berpusat di wilayah kabupaten/kota. Berbagai persoalan yang timbul bersamaan dengan implementasi otonomi daerah ini terus dicarikan jalan keluarnya.

Pada masa otonomi daerah, pola-pola  hubungan antara negara dan masyarakat telah mengalami pergeseran              yang signifikan. Dalam hal perencanaan pembangunan, pergeseran perspektif dapat dilihat dari semakin berkembangnya pendekatan pemberdayaan, partisipatif, dan kemitraan dalam pembangunan daerah. Masyarakat menjadi subjek pembangunan yang lebih besar. Pergeseran cara pandang ini lebih mengedepankan penguatan relasi baru antara hak asasi dan pembangunan yang melahirkan pendekatan pembangunan berbasis hak (rights-based approach to development). Pada saat yang sama, pertautan antara partisipasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) melahirkan semangat baru dalam partisipasi warga (citizenship participation). Partisipasi warga merupakan hak fundamental warga negara dalam proses pembangunan dan sekaligus sebagai prasyarat bagi pembentukan hak-hak lainnya.[3]

Secara teoritik, keterbukaan politik atau demokratisasi  di era otonomi daerah telah mendesain ulang pola-pola relasi pembangunan antara negara (pemerintah daerah) dan masyarakat  ke arah yang lebih setara dan seimbang. Pola-pola demikian mengabaikan prinsip saling mendominasi (Gambar 1).  Agar relasi   poliitik  secara  timbal-balik  tersebut   berlangsung   dengan

baik dan produktif, kedua belah pihak diikat oleh hukum, etika sosial, dan aturan main yang menjadi referensi bersama. Baik pemerintah, maupun masyarakat memiliki tanggung jawab bersama melaksanakan dan menegakkan hukum dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai upaya

Sumber: Pratikno dkk. (2004:54)

menciptakan ketertiban sosial, mewujudkan target-target pembangunan yang sudah direncanakan,  dan mengembangkan tata pemerintahan yang baik. Pola-pola relasi demikian ditandai dengan ciri-ciri sebagai berikut[4]:

  1. Meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam setiap urusan publik.
  2. Tidak ada keputusan politik yang dapat lolos tanpa melalui uji publik, seperti dialog, dengar pendapat, dan penjaringan aspirasi.
  3. Legitimasi pemerintah (pemkab/pemkot) dan parlemen (DPRD) akan lemah apabila membuat keputusan tanpa memahami aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
  4. Pelayanan publik menjadi orientasi penting antara pemerintah, parlemen, dan masyarakat.

Hubungan yang seimbang antara pemerintah dan masyarakat tidak hanya manifestasi dari  pelaksanaan otonomi daerah, tetapi model hubungan yang demikian itu juga merupakan tuntutan  kebutuhan masyarakat untuk membangun tata pemerintahan yang baik, sehingga memudahkan pencapaian  kemajuan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam membangun sinergi peran dan tanggung jawab kedua belah pihak, diperlukan komunikasi yang intensif dan transparans melalui berbagai saluran, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman yang dapat menghambat kinerja pembangunan daerah.

Perwujudan Partisipasi

            Partisipasi publik atau partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan memiliki dasar hukum yang jelas, seperti tertuang dalam:  Undang-undang RI No. 25, Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan Undang-undang RI No. 25, Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.  Peraturan perundang-undangan yang bersifat teknis, juga memuat tentang partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang pembangunan, seperti kehutanan, perikanan, koperasi, pengelolaan wilayah pesisir, dan sebagainya. Legitimasi tersebut menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan merupakan keabsahan.

Partisipasi masyarakat dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana masyarakat sebagai salah satu pelaku pembangunan dan pemerintah daerah menjalin kemitraan dan interaksi konsultatif, untuk merumuskan  tanggung jawab masing-masing secara sinergis dan mengambil keputusan pembangunan, termasuk  mengelola sumber daya pembangunan daerah.[5] Sebagian masyarakat kita belum memahami dengan baik tentang hak dan kewajibannya dalam proses pembangunan, sehingga mereka kurang memiliki perhatian terhadap kegiatan pembangunan. Faktor-faktor penyebabnya, antara lain adalah sikap apatis karena sudah terlalu lama hidup dalam kungkungan rezim pembangunan top-down Orde Baru, kapasitas dan wawasan SDM yang terbatas, dan belum terbukanya lembaga-lembaga pemerintahan, khususnya di aras lokal untuk menampung dan mengelola aspirasi masyarakat secara baik dan benar. Baik pemerintah daerah, maupun masyarakat memiliki tugas untuk mendorong tumbuh dan berkembangnya partisipasi masyarakat.

Untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, ada beberapa hal yang perlu dilakukan[6]:

  1. Meningkatkan kemampuan masyarakat mendayagunakan kelembagaan-kelembagaan lokal sebagai instrumen partisipasi, sesuai dengan budaya mereka. Misalnya, pondok pesantren pada masyarakat pedesaan, organisasi paguyuban, organisasi profesi/kerja, forum warga, badan keswadayaan masyarakat, dan sebagainya.
  2. Mendorong hadir dan berfungsinya lembaga-lembaga kontrol sosial berbasis masyarakat, yang memiliki kedudukan strategis dan independen untuk mengawal proses pembangunan di daerah, seperti Badan Silaturahmi Ulama Pesantren Madura (Bassra) atau Dewan Pembangunan Madura. Lembaga demikian juga dapat berfungsi sebagai penekan (preasure group) dan penyeimbang dalam relasi antara pihak eksekutif (pemerintah daerah) dan badan legislatif (DPRD).
  3. Pemerintah Daerah hendaknya memberikan informasi yang komprehensif tentang partisipasi pembangunan yang dapat dilakukan oleh masyarakat dan memberikan kemudahan bagi masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan. Dalam hal ini, diperlukan program-program sosialisasi, diseminasi informasi melalui sarana komunikasi massa, dan sebagainya.

Lembaga-lembaga politik yang potensial berfungsi sebagai “penampung dan pengolah” aspirasi pembangunan dari masyarakat adalah pemerintah daerah (kabupaten/kota) dan jajaran birokrasinya hingga ke unit organisasi pemerintahan terbawah, Badan Perwakilan Desa (BPD), partai politik, dan badan legislatif DPRD. Seluruh aspirasi masyarakat yang masuk dan kebijakan strategis pemerintah daerah akan disinergikan dan diolah secara komprehensif, sehingga menjadi program-program pembangunan daerah. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dimulai dari penyampaian aspirasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi.

Pada dasarnya, bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan secara luas,  tidak hanya mengikuti alur pemikiran seperti di atas. Bagi warga masyarakat yang memiliki kapasitas berwirausaha dengan mengembangkan unit-unit bisnis tertentu, yang kemudian berdampak strategis terhadap perkembangan perekonomian desa, penyerapan tenaga kerja, serta peningkatan kesejahteraan warga yang terlibat di dalamnya untuk mengikis pengangguran dan kemiskinan, maka warga negara yang demikian juga telah melakukan dengan baik kegiatan partisipasi pembangunan sosial ekonomi. Sesungguhnya, ruang-ruang partisipasi pembangunan yang demikian ini terbuka luas bagi masyarakat untuk mencapai kemajuan daerahnya.

Prakarsa dan partisipasi masyarakat merupakan modal sosial (social capital) yang sangat berharga dalam memajukan pembangunan daerah. Agar modal sosial tersebut dapat didayagunakan secara baik, diperlukan kanalisasi aspirasi, kelembagaan yang kondusif untuk menampung dan mengolahnya, serta ruang sosial yang fleksibel untuk mengaktualisasikan partisipasi, sehingga memberi kontribusi positif terhadap kelangsungan pembangunan daerah. Prakarsa dan partisipasi dalam pembangunan daerah merupakan hak dan tanggung jawab seluruh warga masyarakat.

Program-program Pendorong Partisipasi

Program-program pembangunan daerah yang berpotensi membangkitkan semangat partisipasi warga masyarakat adalah program-program yang secara langsung menyangkut kepentingan orang banyak. Program-program demikian adalah: (1) pelayanan publik dan (2) pemberdayaan masyarakat untuk kegiatan ekonomi produktif. Kedua program dapat terlaksana dengan baik, jika didukung oleh program peningkatan kapasitas pemerintah daerah. Jika kedua program tersebut, yakni pelayanan publik dan pemberdayaan masyarakat menjadikan masyarakat sebagai subjek, program peningkatan kapasitas pemerintah daerah, menempatkan  aparatur daerah sebagai subjek. Program-program tersebut merupakan indikator terpenting dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik di daerah. Baik masyarakat, maupun aparatur pemerintah daerah merupakan subjek terpenting dalam mendorong berkembangnya partisipasi masyarakat memajukan pembangunan di daerah.

  1. Pelayanan Publik

Pelayanan publik merupakan titik strategis untuk memulai pengembangan good governance di lingkungan pemerintah daerah. Hal ini didasarkan pada tiga alasan berikut[7]:

  1. Pelayanan publik merupakan ranah dimana negara (pemerintah daerah) berinteraksi dengan warga dan lembaga-lembaga nonpemerintah.
  2. Berbagai aspek good governance dapat diartikulasikan secara relatif lebih mudah dalam ranah pelayanan publik.
  3. Pelayanan publik melibatkan “kepentingan” semua unsur good governance.

Melalui pelayanan publik, aktor birokrasi pemerintah daerah akan berinteraksi dengan berbagai pihak, seperti  warga negara biasa, pelaku bisnis, pengelola lembaga-lembaga sosial, dan sebagainya. Interaksi itu berlangsung intensif dan berkelanjutan dalam berbagai urusan kepentingan. Kinerja di sektor pelayanan publik akan menentukan baik-buruknya “wajah pemerintah daerah”. Pemerintah Kabupeten Banyuwangi telah memiliki  Peraturan Daerah No. 3, Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik dan implementasi peraturan daerah ini secara konsisten dan berkualitas akan membantu pengembangan good governance. Bahkan perlu ditingkatkan  strategi “pelayanan publik secara terpadu”, yang memudahkan masyarakat berurusan dengan birokrasi pemerintah daerah secara efektif dan efisien. Pemerintah Daerah harus berkreasi dan berinovasi secara terus-menerus dalam meningkatkan kualitas pelayanan publik berdasarkan umpan-balik dari para pemangku kepentingan lainnya (stakeholders).

  1. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Strategi pemberdayaan ekonomi masyarakat memiliki tiga nilai strategis sebagai berikut:

  1. Mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran, serta meningkatkan kesejahteraan sosial penduduk, baik di pedesaan, maupun perkotaan.
  2. Mempermudah masyarakat mengelola potensi sumber daya ekonomi lokal secara berkelanjutan, sehingga tercipta kesempatan rakyat untuk berusaha.
  3. Mendorong dinamika perekonomian masyarakat, khususnya di daerah pedesaan.

Pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui strategi pengembangan kelembagaan sosial dengan dukungan  sinkronisasi pendampingan serta penyuluhan dan pelayanan secara berkelanjutan. Pendekatan yang integral ini merupakan resep yang efektif untuk mengatasi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.[8] Program pemberdayaan ekonomi ini memiliki relasi kontekstual yang kontrastif dengan masih banyaknya jumlah penduduk miskin di Kabupaten Banyuwangi, yakni 28,75% dari total penduduk 1,6 juta jiwa, sedangkan potensi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi daerah sangat besar.[9] Program pemberdayaan ekonomi ini akan melibatkan partisipasi warga masyarakat dalam skala besar.

  1. Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah

Untuk mendukung  efektivitas keputusan dan pelaksanaan atas kedua program di atas, diperlukan kinerja yang optimal dari pemerintah daerah. Program peningkatan kapasitas pemerintah daerah mencakup dua aspek[10]:

  1. Peningkatan kapasitas aparatur pemerintah daerah. Subprogram ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi, profesionalisme, dan kemampuan manajemen aparatur pemerintah daerah, sesuai dengan kebutuhan guna mendukung penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan fasilitasi pemberdayaan masyarakat di daerah.
  2. Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah. Subprogram ini bertujuan untuk: membangun sinergi hubungan kerja sama antarlembaga di lingkungan pemerintah daerah, baik antara lembaga eksekutif dengan legislatif, maupun hubungan kerja antara lembaga-lembaga pemerintahan dengan lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan.

Program peningkatan kapasitas pemerintah daerah akan memudahkan koordinasi dan sinergi program antarberbagai lembaga penyelenggara pemerintahan, serta mengembangkan partisipasi luas masyarakat dalam memajukan pembangunan di daerah.  Dengan dukungan aparatur pemerintah daerah yang berkualitas, kredibel, dan akuntabel, implementasi program-program pembangunan daerah akan lebih mudah mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Penutup

            Atmosfir politik di era reformasi dan otonomi daerah telah memberikan keleluasaan pada masyarakat luas untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerah. Di samping itu, untuk mengoptimalkan keterlibatan partisipasi warga masyarakat dan lembaga-lembaga nonpemerintah dalam pembangunan daerah diperlukan keterbukaan perilaku aparatur dan kelembagaan pemerintah daerah dan kemampuan mereka mengelola aspirasi masyarakat sebagai modal sosial dan energi          pembangunan daerah. Dalam hal ini, kualitas dan kapasitas aparatur pemerintah daerah dan ketersediaan dukungan sumber daya yang memadai sangat diperlukan untuk merespons aspirasi, prakarsa, dan partisipasi masyarakat, serta mengimplementasikan program-program pembangunan daerah. Prakarsa, aspirasi, dan partisipasi masyarakat perlu disediakan kanalisasi agar menjadi sesuatu yang positif bagi upaya merumuskan program pembangunan daerah dan mencapai keberhasilannya.

Lebih dari itu, keberhasilan mencapai tujuan pembangunan daerah dalam rangka memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat sangat bergantung pada komitmen/tanggung jawab kolektif, silaturahmi,  dan kepedulian di antara pemerintah daerah dan seluruh komponen warga masyarakat. Komitmen dan kepedulian ini harus secara terus-menerus dipelihara dan dipupuk, sehingga akan menjadi modal sosial yang strategis untuk mengatasi dan mengantisipasi berbagai persoalan yang muncul ketika program-program pembangunan daerah diimplementasikan.

DAFTAR PUSTAKA

Dwiyanto, Agus. 2006. “Mengapa Pelayanan Publik?”, dalam Agus Dwiyanto (Ed.). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hosnan. 2007. “Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Daerah”, dalam I Made Leo Wiratma (Ed.). Membangun Indonesia dari Daerah: Partisipasi Publik dan Politik Anggaran Daerah. Jakarta: CSIS, hal. 36-42.

Kusmulyono, B.S. 2009. Menciptakan Kesempatan Rakyat Berusaha:  Sebuah Konsep Baru tentang Hybrid Microfinancing. Bogor: IPB Press.

Pratikno dkk. 2004. Mengelola Dinamika Politik dan Sumberdaya Daerah. Yogyakarta: Program S2 PLOD UGM dan Departemen Dalam Negeri.

Sajogyo. 2002. “Keswadayaan dan Saling Memberdayakan”, dalam Jurnal Ekonomi Rakyat, Tahun I, No. 5, hal. 1-9.

Sarundajang, S.H. 2002. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Sinar Harapan.

Sirajuddin, dkk. 2006. Hak Rakyat Mengontrol Negara: Membangun Model Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Jakarta: YAPPIKA.

Sumarto, Hetifah Sj. 2009. Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sutoro,  Eko. 2005. “Memperkuat Prakarsa Masyarakat Melalui Perencanaan Daerah”, Kata Pengantar dalam buku Alexander Abe. Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarta: Pembaruan, hal. xxiii-xxxvii.

______. “Kemiskinan di Banyuwangi: Derita di atas Melimpahnya Hasil Bumi”, dalam http://groups.yahoo.com/group/nasional-list/message/48832, diunduh tanggal 6 juli 2010.

Artikel lainnya :

[1]Antropolog Fakultas Sastra, Universitas Jember (UNEJ) dan Direktur Institute for Reform of Social Development  Management (IRSDEM) Jember. Alamat email: welfarestate@yahoo.co.id. Makalah ini disampaikan dalam rangka meningkatkan komunikasi dan partisipasi masyarakat dalam membangun Kabupaten Banyuwangi yang lebih baik pada masa-masa mendatang. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Bakesbangpol dan Linmas, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Kamis, 23 Desember 2010 di Hotel “Ikhtiar Surya” Banyuwangi.

[2]S.H. Sarundajang. 2002. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Jakarta: Sinar Harapan, hal. 15-18

[3]Sutoro Eko. 2005. “Memperkuat Prakarsa Masyarakat Melalui Perencanaan Daerah”, Kata Pengantar dalam buku Alexander Abe. Perencanaan Daerah Partisipatif. Yogyakarta: Pembaruan, hal. xxiv-xxv.

[4] Pratikno dkk. 2004. Mengelola Dinamika Politik dan Sumberdaya Daerah. Yogyakarta: Program S2 PLOD UGM dan Departemen Dalam Negeri, hal.  54-55.

[5]Lihat juga, Sajogyo. 2002. “Keswadayaan dan Saling Memberdayakan”, dalam  Jurnal Ekonomi Rakyat, Tahun I, No. 5, hal. 1 dan Sirajuddin, dkk. 2006. Hak Rakyat Mengontrol Negara: Membangun Model Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Jakarta: YAPPIKA, hal. 12-17.

[6]Hosnan. 2007. “Mendorong Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan Daerah”, dalam I Made Leo Wiratma (Ed.). Membangun Indonesia dari Daerah: Partisipasi Publik dan Politik Anggaran Daerah. Jakarta: CSIC, hal. 36-42.

[7] Agus Dwiyanto. 2006. “Mengapa Pelayanan Publik?”, dalam Agus Dwiyanto (Ed.). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 20-27. Lihat juga, Hetifah Sj. Sumarto. 2009. Inovasi, Partisipasi, dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal- 1-11.

[8]B.S. Kusmulyono. 2009. Menciptakan Kesempatan Rakyat Berusaha:  Sebuah Konsep Baru tentang Hybrid Microfinancing. Bogor: IPB Press, hal. 174-175.

[9]Lihat, “Kemiskinan di Banyuwangi: Derita di atas Melimpahnya Hasil Bumi”, dalam http://groups.yahoo.com/group/nasional-list/message/48832, diunduh tanggal 6 juli 2010.

[10]Lihat, Sajogyo, op.cit. hal. 2.

STRATEGI PENDATAAN NELAYAN MoU BOX DI KABUPATEN/KOTA PROBOLINGGO

Oleh: Kusnadi[tabs slidertype=”top tabs”] [tabcontainer] [tabtext][/tabtext] [/tabcontainer] [tabcontent] [tab] Antropolog Maritim dan Kepala Pusat Penelitian Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Lembaga Penelitian, Universitas Jember. Pokok-pokok pikiran yang disampaikan pada “Lokakarya Pendataan Nelayan MoU Box dalam rangka Persiapan Pertemuan Bilateral Indonesia-Australia di Jakarta, Februari 2009”. Kegiatan ini dilaksanakan di Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan, Provinsi Jawa Timur, Surabaya, Kamis 15 Januari 2009.[/tab] [/tabcontent] [/tabs]

kusnadiNelayan-nelayan Jawa Timur yang mengakses (mencari dan menangkap) sumber daya perikanan (SDI) di wilayah MoU Box, yakni Perairan Pulau Pasir dan sekitarnya, di dekat Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur, yang termasuk dalam wilayah Konservasi Taman Nasional Laut Australia Barat, berasal dari Pulau Raas dan Pulau Tonduk, gugusan pulau-pulau kecil di Sumenep Timur, Madura dan dari Kabupaten/Kota Probolinggo. Pada umumnya, mereka mengutamakan penangkapan  teripang. Hasil tangkapan lainnya adalah lola, dugong, hiu, dan penyu. Harga teripang cukup mahal. Dari tangan nelayan harga mencapai Rp 300.000 per kg dan di  pasar internasional bisa menembus Rp 1,6 juta per kg.  Fluktuasi harga juga ditentukan oleh kualitas teripang. Sekalipun berisiko terhadap keselamatan jiwa karena menggunakan peralatan sederhana, perburuan teripang terus dilakukan. Negara tujuan pasar luar negeri  teripang adalah Singapura dan China.

Nelayan-nelayan (pandhiga atau awak perahu) yang menangkap teripang mengoperasikan perahu-perahu yang dimiliki oleh juragan. Wilayah perairan Pulau Pasir dan sekitarnya merupakan daerah penangkapan tradisional (traditional fishing grounds) nelayan-nelayan Madura yang telah berlangsung cukup lama. Pulau Pasir menjadi tempat transit nelayan-nelayan Madura untuk mengambil air dan beristirahat sejenak serta di pulau tersebut juga terdapat makam nelayan-nelayan Madura, Bugis, Rote, dan lainnya. Penangkapan teripang oleh nelayan-nelayan Madura tidak hanya didasari oleh nilai harga jual yang mahal dan karena mereka sudah memiliki keahlian untuk menangkap biota laut tersebut, tetapi juga didorong oleh keterbatasan sumber daya ekonomi pulau dan kekalahan bersaing dengan nelayan-nelayan besar yang beroperasi di perairan gugusan pulau-pulau Sumenep Timur. Selama sumber daya ekonomi di daratan pulau-pulau dan wilayah perairan di sekitar Kecamatan Raas  belum memberi penghasilan  yang layak, maka peluang nelayan-nelayan Pulau Raas dan Pulau Tonduk menangkap teripang di perairan sekitar Pulau Pasir masih tetap terbuka.

Kondisi perairan yang sama juga dialami oleh Selat Madura. Dari tahun ke tahun karena berbagai faktor, potensi SDI di perairan Selat Madura terus menyusut. Akibatnya, tingkat pendapatan nelayan menurun. Sebagian dari nelayan-nelayan Probolinggo beroperasi semakin jauh untuk memperoleh hasil tangkapan, seperti ke kawasan perairan gugusan pulau-pulau di Sumenep Timur. Sebagian yang lain, menjadi awak perahu/kapal-kapal asal Tanjung Balai, Riau, yang berpangkalan di Tanjung Tembaga, Probolinggo untuk mencari teripang, yang salah satu wilayah  perairan yang dituju adalah perairan Pulau Pasir dan sekitarnya. Tawaran gaji bagi nelayan dalam sekali masa melaut (6 bulan) berkisar antara Rp 2 juta s.d. Rp 5 juta. Di Kota Probolinggo ini terdapat beberapa perusahaan yang menampung dan mengekspor hasil tangkapan nelayan tersebut.

 

 

Strategi Pendataan

Tahap pralapangan. Hal-hal yang perlu dipersiapkan oleh petugas atau tim pendaftaran yang akan ke lapangan (Probolinggo) adalah sebagai berikut.

  1. Menyiapkan format substansi pendaftaran atau menetapkan poin-poin yang akan dimintakan informasinya dari nelayan. Garis besar substansi tersebut mencakup informasi tentang: identitas diri nelayan dan keluarganya; aktivitas penangkapan yang dijalani mulai dari rekrutmen, proses kerja, organisasi kerja dalam penangkapan, kapan berangkat dan kembali ke Probolinggo; tingkat pendapatan yang diperoleh; sumber-sumber pendapatan off-fishing; pembelanjaan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari; serta  harapan hidup dan cita-cita kehidupan mendatang. Poin-poin data ini cukup komprehensif karena bisa digunakan untuk merencanakan kegiatan pemberdayaan sosial ekonomi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
  2. Menyiapkan penyusunan kuesioner (daftar pertanyaan tertutup) dan pedoman wawancara (interview guide) sebagai instrumen untuk memperoleh atau memancing informasi-informasi di atas (item 1).
  3. Menguasai informasi awal tentang seluk-beluk kegiatan perikanan tangkap di Probolinggo, kehidupan nelayan setempat secara umum, dan desa-desa yang menjadi tempat asal nelayan-nelayan yang beroperasi di wilayah MoU Box. Informasi ini bisa diperoleh atau segera dimintakan dari dinas teknis terkait (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten/Kota), atau yang mewakili, yang diundang pada rapat pagi ini.
  4. Tim pendata supaya bergerak sepasang-sepasang untuk mewancarai nelayan yang dituju agar bisa saling mengisi jika terjadi kemandegan dalam memawancarai informan. Idealnya jumlah nelayan yang akan didata adalah seluruh nelayan yang beroperasi di daerah MoU Box. Jika di-sampling akan menyulitkan untuk memperoleh jumlah yang valid dari nelayan-nelayan yang beroperasi di daerah MoU Box. Karena kegiatan ini adalah pendataan (bukan riset ilmiah), tujuan pendataan ini adalah untuk memperoleh angka yang pasti tentang jumlah nelayan yang  beroperasi di daerah MoU Box.
  5. Menyiapkan sarana pendataan, seperti alat-alat tulis, tape rekorder (alat perekam), kamera, dan lainnya yang relevan.

Tahap Penerjunan/Kunjungan Lapangan. Pada tahap ini, hal-hal  yang dilakukan oleh petugas atau tim pendataan untuk memperoleh informasi adalah sebagai berikut.

  1. Berbekal informasi di atas (No. 3), tim pendata segera meluncur ke desa-desa/kampung nelayan, tempat domisili nelayan MoU Box. Temui terlebih dulu kepala desa/lurah, sampaikan maksud kedatangan di lokasi secara terbuka dan mintalah kepala dusun/kepala kampung/Ketua RW mengantar ke rumah nelayan.
  2. Setelah tiba di rumah nelayan, sampaikan maksud kedatangan dan mintalah informasi atau data sesuai dengan yang sudah ditetapkan (No. 1). Dalam mengeksplorasi data ini gunakanlah instrumen data yang sudah dibuat sebelumnya (No. 2).
  3. Kepada nelayan yang sudah diwawancarai, tanyakan siapa-siapa saja (nelayan lainnya) yang beroperasi di daerah MoU Box. Nama-nama nelayan yang diucapkan dan alamat rumahnya supaya dicatat rinci. Datangi rumah mereka dan lakukan wawancara sesuai dengan kebutuhan.
  4. Penelusuran nama-nama nelayan MoU Box menggunakan teknik bola salju (snow ball), sampai nama-nama seluruh nelayan yang beroperasi di MoU Box terjaring.
  5. Seandainya nelayan yang bersangkutan tidak ada di tempat karena berbagai hal, termasuk karena melaut, demi menghemat waktu dan tenaga yang ada, data dan informasi bisa diambil dari isteri mereka atau anggota keluarga yang lain.
  6. Dengan strategi-strategi di atas, kegiatan pendataan bisa dilakukan dengan baik.

Tahap Meninggalkan Lokasi. Pada tahap ini, kegiatan pendataan sudah selesai dilakukan, baik pada setiap nelayan, maupun keseluruhan nelayan. Tim akan meninggalkan lokasi, Probolinggo. Sampaikan ucapan terima kasih atas bantuan dan kerja samanya kepada nelayan dan keluarganya, para pengantar, tokoh masyarakat, serta staf/pimpinan instansi terkait. Juga diingatkan bahwa suatu saat tim pendata akan kembali ke lokasi jika data-data yang telah diperoleh masih dianggap kurang akurat untuk melakukan wawancara lagi.

Tahap Pelaporan. Setelah keseluruhan data diperoleh dilanjutkan dengan kegiatan terakhir, yaitu membuat laporan. Struktur laporan pendataan dibuat sesuai dengan kebutuhan dan mengacu pada substansi yang telah ditetapkan pada No. 1, tahap pralapangan. Prinsip-prinsip penulisan laporan adalah komprehensif, jelas, faktual, ditulis menggunakan bahasa Indonesia yang baku, dan disertai foto nelayan dan keluarganya. Laporan ini akan menjadi dokumen penting bagi departemen.

 

Penutup

Dalam kegiatan pendataan dan agar hasil yang diperoleh efektif, tim pendata hendaknya tidak bersikap seperti birokrat. Lakukanlah kegiatan wawancara dengan santai, fokus (sesuai dengan pedoman wawancara), serta terukur perolehan datanya dan penggunaan waktu yang efektif. Di samping itu, semangat dan kerja keras selama di lapangan akan berpengaruh terhadap kecekatan bertindak sehingga dalam waktu yang relatif singkat jumlah data yang diperoleh sudah maksimal.         Seluruh item data yang diperoleh sangat berharga bagi DKP atau dinas terkait untuk menjadi masukan dalam memberdayakan masyarakat nelayan MoU Box. Jika kegiatan pemberdayaan sosial ekonomi tersebut mampu mengangkat derajat kesejahteraan mereka, niscaya jumlah nelayan yang mencari nafkah di daerah MoU Box akan berkurang.

Penyampaian data-data tersebut (khususnya nama-nama nelayan) kepada pihak Australia juga harus berhati-hati agar tidak dijadikan alat untuk membatasi secara mutlak atau meniadakan hak tradisional nelayan-nelayan Indonesia menangkap ikan di daerah MoU Box. Pengalihan wilayah aktivitas penangkapan nelayan-nelayan dari daerah MoU Box ke fishing ground lainnya, membutuhkan proses waktu. Kita tidak bisa melarang begitu saja tanpa memberikan solusi penyelesaian. Pada umumnya, nelayan-nelayan teripang ini tidak takut mati menentang badai dan ganasnya ombak  laut, yang mereka takuti justru kelaparan anggota-anggota keluarganya karena tiada pendapatan yang bisa diperoleh dan dibawa pulang dari kegiatan melaut. Artinya, persoalan ekonomi rumah tangga nelayan merupakan masalah prinsip yang harus diperhatikan dan diatasi, khususnya melalui program-program pemberdayaan sosial ekonomi dari pemerintah!

Artikel lainnya :