Cerpen

now browsing by category

 

CANTING MBOK SUTINEM

Bambang Aris KOleh : Bambang Aris Kartika

CANTING MBOK SUTINEM 

[ CERPEN – BAMBANG ARIS KARTIKA – 2009 ]

 

Pagi merekah dan membedah waktu yang berotasi,

Matahari semilau merobek pagi, tatkala butiran embun didahan hijau mulai mengering. Dingin udara sesekali masih terasa menusuk tulang, tapi sudah sedikit hangat. Langit pun sedikit demi sedikit menghapus warna, merubah dari pekat menjadi goresan semburat warna putih dan biru melaut. Pendar sinar lampu jalanan yang bersinar parau semalam telah mulai dipadamkan. Demikian pula dengan Mbok Sutinem, janda tua itu pun juga telah mematikan api mungil dalam kurungan kaca semprong dengan cara meniupnya. Lampu itu tiap hari  tergantung ditiang rumah dan tiga hari sekali Mbok Sutinem mengisinya dengan minyak tanah. Akan tetapi apabila minyak tanah hilang diperedaran, dan hal ini seringkali terjadi, maka semalaman rumahnya akan terjebak dalam gelap gulita. Hitam. Pekat.

Pagi, seperti hari-hari kemarin, dengan ditemani udara dingin perempuan tua itu pun memulai aktivitas dengan bergegas membersihkan badan di sumur kampung sekaligus mencuci beberapa potong pakaian kotornya. Setelah selesai ia pun menjerang air untuk keperluan minum dan menanak nasi tanpa lauk sebagai bekal secukupnya di tempatnya bekerja. Baginya bisa makan nasi saja sudah merupakan berkah yang senantiasa disyukurinya meski tanpa lauk pauk. Dengan sepeda ontel reyotnya dimana sebagian kerangka besinya sudah karatan dan warna hitamnya disana sini sudah mengelupas, perempuan renta itu dengan semangat hidup yang mempias dari kerut-kerut wajahnya, mengayuh pedal menuju Ndalem Senoprayan, tempat dimana sepanjang usianya mengabdi sebagai buruh di Pengrajin Batik milik seorang pedagang kain batik dari Kampung Ngasem Rotowijayan.

Mbok Sutinem semenjak muda memang telah menjadi buruh tulis batik di Ndalem tersebut. Dari mula usaha batik berdiri hingga sekarang ketika usianya yang sudah senja, dia masih tetap prigeluntuk bekerja, terutama semenjak kematian suaminya yang meninggal sewaktu terjadi gegeran politik tahun 65. Hingga akhirnya dia harus merawat dan membesarkan anaknya sendirian tanpa pernah sekalipun mengeluh atau mengumpat atau pun menyesali suratan takdir yang menimpa dirinya. Satu-satunya yang sangat disesalinya  adalah ketika anaknya lahir tanpa pernah sekalipun mengetahui seperti apa wajah bapaknya. Senyum. Tawa. Apalagi menikmati gendongan dan buaian sayang dari sang ayah yang telah membuat dirinya hadir sebagai manusia di dunia.

Menjadi buruh pembuat kain batik tulis baginya tidak saja berujung pada keinginannya untuk memperoleh sedikit uang bagi upayanya menyambung hidup, melainkan juga bagian dari jiwanya yang menyukai seni lukis kain yang konon katanya merupakan warisan budaya dari tradisi yang dilakukan oleh para putri keraton. Seni yang indah, luwes, dan mriyayi ketika dipakai tidak peduli pemakainya apakah perempuan atau pun laki-laki. Dia sangat mengagumi motif-motif batik yang dihasilkan oleh para perempuan leluhurnya, seperti motif Cuwiru, Sido Mukti, Kawung, Parang Kusumo, Pamiluto, Caplok Kasatrian, Nitik Karawitan, Truntum, Ciptoning, Tambal, Slobog, Parang Rusak Barong, Udan Liris. Namun, diantara sekian banyak motif model Yogya tersebut, motif paling disukai dan sering dibuatnya adalah batik tulis dengan motif Truntum dan Ciptoning. Sebab menurut ajaran spiritual dan filosofi dari kedua motif batik tersebut dan selama ini sangat diyakini oleh Mbok Sutinem, kalau Ciptoningmensiratkan bahwa diharapkan pemakainya menjadi orang bijak, mampu memberi petunjuk jalan yang benar. Unsur motif ini adalah Parang dan Wayang, sedang ciri khasnya adalah Kerokan. Sementara untuk motif Truntum merupakan batik yang biasa dipergunakan dan dipakai saat pernikahan. Ciri khas batik motifTruntum juga Kerokan dan filosofi serta nilai spiritualnya bahwaTruntum artinya menuntun, diharapkan orang tua bisa menuntun calon pengantin.

Selain itu pula, ada kebanggaan tersendiri dalam hatinya bahwa meskipun hanya berbekal ketrampilan mengubah kain putih serta bahan-bahan pewarna yang diolah dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia seperti pohon mengkudu, tinggi, soga, nila dan bahan sodanya dibuat dari soda abu serta garamnya dibuat dari tanah lumpur, juga malam yang dipanaskan dengan kompor dan canting untuk menggoreskan lekuk-lekuk gambar meru, gurda, mlinjon, parang, geometris, dan suluran, dia telah berhasil menyekolahkan anak perempuan satu-satunya, Probondari demikian Mbok Sutinem menamakan anak perempuan yang dilahirkannya pada tengah malam ditingkap oleh gelegar guntur dan kejap halilintar serta hujan deras yang mengguyur bumi, hingga selesai SMA.

Kini 5 tahun sudah Probondari berada di negeri jiran. Konon kabarnya sebagai tenaga kerja Indonesia dengan bekerja di kilang perakitan alat elektronik di bilangan wilayah Shah Alam, Selangor. Namun dia tidak bisa memastikan kebenaran kabar yang disampaikan oleh Winoto bahwa anak perempuannya memang benar-benar bekerja di kilang bukan menjadi pembantu rumah tangga, lebih-lebih terjerumus dalam perdagangan wanita untuk pelacuran. Hal terakhir inilah yang sesungguhnya sangat menghantui dan mencemaskan dirinya. Tiap malam menjelang tidur, Mbok Sutinem senantiasa memohon doa untuk keselamatan Probondari.

Tapi sepanjang waktu 5 tahun pula tiada satu pun kabar pernah diterimanya. Berulang kalipun dia sudah menanyakan kepada agen yang memberangkatkannya, namun jawabannya senantiasa sama. Nihil. Suatu waktu pernah dia menanyakan langsung kepada Winoto, pemilik agen, orang yang membawanya berangkat ke negeri yang pernah memenjarakan Anwar Ibrahim, tokoh reformasi politik Malaysia. Jawaban yang diterima malah menyakitkan hatinya.

“Iku wis duduk tanggungjawabku. Jalaran anakmu wis dadi urusane Tekong Malaysia kono.”

“Lho, lak kowe to sing mbujuk anaku wedok ben kerja neng kono.”

“Sing penting aku wis menuhi kewajibanku, Yu Tinem.Nyalurno kerja anake Sampeyan”

“Lho, nek ger nyalurke we kabeh uwong iso. Nanging aku pengen ngerti kabare anakku wedok, Pak Winoto. Aku sing ngelahirno. Aku sing gembol sangang sasi.”

“Wis ngene wae, Yu Tinem. Engko yen ono kabar tentang anakmu engko sampeyan tak kabari.”

Baca selengkapnya disini

Baca Juga : Surat Tak Bersayap